Posts RSS RSS

SEJARAH BLITAR 1

/


Blitar terletak dikaki lereng gunung Kelud di Jawa Timur. Daerah Blitar selalu dilanda lahar gunung Kelud yang meledak secara berkala sejak zaman kuno sampai sekarang. Lahar mengalir kebawah melalui lembah-lembah sungai dan membeku menutup permukaan bumi.
Abu yang memancardari bawah gunung berapi akhirnya jatuh juga di permukaan bumi dan bercampur dengan tanah. Lapisan-lapisan tanah vulkanik daerah Blitar pada hakekatnya merupakan suatu kronologi tentang ledakan-ledakan gunung Kelud yang kontinu dari zaman dahulu kala.
Geologis tanah daerah Blitar berupa tanah vulkanik yang mengandung abu ledakan gunung berapi, pasir dan napal (batu kapur bercampuran tanah liat). Warnanya kelabu kekuning-kuningan. Sifatnya masam, gembur dan peka terhadap erosi. Tanah semacam itu disebut tanah regosol yang dapat digunakan tuntuk penanaman padi, tebu tembakau dan sayur- sayuran. Disamping sawah yang sekarang mendominasi pemandangan alam daerah sekitar Kota Blitar ditanam pula tembakau di daerah ini. Tembakau ini ditanam sejak zaman Belanda berhasil menaruh daerah ini dibawah jurisdiksinya dalam Abad XVII. Bahkan pernahmaju-mundur Blitar ditentukan oleh berhasil tidaknya produksi tembakau di daerah ini. Sungai Brantas mengalir memotong daerah Blitar dari Timur ke Barat. Disebelah Selatan sungai Brantas (daerah Blitar Selatan) kita menjumpai tanah yang lain lagi jenisnya. Tanah ini tergolong dalam apa yang disebut grumusol. Tanah grumusol merupakan batu-batuan endapan yang berkapur di daerah bukit maupun gunung. sifatnya basah.
Tanah semacam ini hanya baik untuk penanaman ketela pohon (cassave) dan jagung di samping kegunaannya sebagai daerah hutan jati yang kering dan tandus. Seperti yang telah kita ketahui, sungai Brantas menerobos daerah Blitar dari Timur ke Barat.
Sungai yang terbesar di Jawa Timur sesudah Bengawan Sala ini mempunyai arti yang penting sekali bagi sejarah politik maupun sosial Jawa Timur. Bersumber digunung Arjuna sungai ini membawa unsur-unsur basis yang dimuntahkan di dataran tinggi aluvial Malang yang bersifat masam hingga larutan basa-asam menimbulkan unsur garam yang tidak bisa di pisahkan dari kesuburan tanah karena garam merupakan bahan makan tumbuh-tumbuhan seperti padi, polowijo dan sebagainya.
Peranan semacam ini diulangi lagi oleh sungai Brantas kalau sungai ini menalir menerobos Daerah Bltiar. Di daerah ini sungai Brantas menerima unsur basis dalam airnya yang kemudian dimuntahkan di dataran rendah aluvial Tulungangung (Ngrawa) dan Kediri yang bersifat masam sehingga daerah itu menjadi subur.
Sekali lagi sungai ini setelah melewati kediri menerobos pegungungan kapur Kendeng Tengah di sekitar Jombang dan memuntahkan unsur basisna di rawa-rawa yang masam di daerahmuara dan deretannya sekitar Mojokerto hingga endapan aluvial di daerah itu menjadi subur.
Tiga darah pusat kesuburan ini, yaitu Malang, Kediri, Mojokerto seakan-akan secara alamiah diciptakan oleh sungai Brantas untuk menentukan apa yang di dalam geopolitik disebut " natural seats of power" atau tempat-tempat yang telah ditentukan oleh alam untuk menjadi tempat kedudukan sesuatu kekuasaan (Sir Halford Mackinder, 1919). Dan memanglah kemudian disitu timbul kerajaan-kerajaan yang besar di Jawa Timur: Kediri, Singosari, Majapahit.
Jika Kediri dan Majapahit secara alamiah boleh dikata berbatasan langsung , maka tidaklah demikian halnya dengan kediri dan Singosari. Kedua kerajaan ini dipisahkan oleh alam dengan adanya rawa-rawa (muara sungai Porong), deretan gunung-gunung (Penanggungan, Welirang, Anjasmara, Arjuna, Kelud, Kawi) yang membentang dari Utara ke Selatan, dareah Blitar, dan pegunungan Kendeng Selatan yang kering lagi tandus. Kalau sekarang hubungan antara kediri dan Malang itu dapat dilaksanakan melalui tiga jalur jalan, ialah melalui Mojosari atau Ngantang atau Blitar, maka kira-kiranya di zaman dulu orang menggunakan dalam prakteknya hanya dua diantara tiga itu, ialah jalan Utara (Mojosari) dan jalan Selatan (Blitar). Jalan tengah (Ngantan) terlalu sukar dan berbahaya untuk ditempuh sehingga praktis orang tidak menggunakannya jika tidak terpaksa. Bahkan dalam abad XVII jalan ini menurut berita Belanda masih merupakan jalan yang sukar sekali dapat di tempuh (J.K.J de Jonge & M.L. Van De Venter, 1909). Van Sevenhoven dalam tahun 1812 menyebut jalan ini masih tetap sukar juga (B. Schrieke, 1957). Jalan Utara melalui
Mojosari kiranya agak sukar ditempuh juga pada waktu itu meningat adanya rawa-rawa di sekitar muara sungai porong. Kita masih ingat bagaimana sukarnya laskar Jayakatwang untuk menangkap Wijaya pada tahun 1292 didaerah itu. Wijaya pandai menggunakan keadaan medan yang berawa itu untuk meloloskan diri.
Halaman Selanjutnya

0 comments:

Welcome to our site

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "